Jumlah Si Miskin: Makro Versus Mikro

- 4 September 2020, 14:50 WIB
Ilustrasi kemiskinan Kaltara
Ilustrasi kemiskinan Kaltara /Antara

KABAR JOGLOSEMAR - Diskursus jumlah penduduk miskin seringkali menjadi perdebatan seru, tergantung sudut pandang mana melihat dan mendefinisikannya.

Bagi pemerhati sosial yang pro pemerintah memandang kimiskinan penduduk sebagai upaya gambaran keberhasilan pembangunan dengan menunjukkan angka kemiskinan yang relatif cenderung turun dalam kurun waktu tertentu.

Akan tetapi sebaliknya bagi pemerhati sosial yang kontra dengan pemerintah menyampaikan kemiskinan penduduk dalam jumlah absolut yang masih cukup besar yang digunakan untuk mengkonfirmasi pemerintah yang dianggap belum berhasil mensejahterakan rakyatnya, sebagaimana diamanatkan dalam Undang Undang Dasar 1945 pasal 34 ayat (1) yang berbunyi “kewajiban negara untuk memelihara fakir miskin dan anak terlantar. “

Baca Juga: Lidah Mertua dan Kuping Gajah Masuk dalam 10 Tanaman Hias Pembawa Rezeki

Dengan demikian, penyelenggaraan kesejahteraan sosial dapat memberikan keadilan sosial bagi warga negara untuk dapat hidup secara layak dan bermartabat.

Ini bermakna bahwa pemerintah memiliki kewenangan untuk mengelola semua sumber daya dalam perekonomian, untuk digunakan bagi sebesar-besarnya kesejahteraan rakyatnya.

Kemiskinan makro

Mencoba menghitung jumlah penduduk miskin bukanlah pekerjaan mudah. Sepakat ini belum satu pun metodologi yang sempurna memotret kemiskinan.

Secara umum, kemiskinan didefinisikan sebagai kondisi saat seseorang atau sekelompok orang tak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. (Kecuk Suheryanto, 2011).

Lebih lanjut Suheryanto menyatakan bahwa hanya terdiri dari satu kalimat, tetapi maknanya sangat luas sehingga bisa mengundang perdebatan panjang. Contohnya, apa yang dimaksud dengan kehidupan bermartabat.

Apa pula yang termasuk hak-hak dasar? Apalagi, tidak semua hak dasar dapat dikuantifikasi, seperti rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik.

Dari definisi itu terlihat bahwa kemiskinan merupakan masalah multidimensi. Sulit mengukurnya sehingga perlu kesepakatan pendekatan pengukuran yang dipakai.

Baca Juga: Angka Pembawa Hoki dan Kesialan Menurut Fengshui China yang Perlu Diketahui

Salah satu konsep penghitungan kemiskinan yang diterapkan di banyak negara, termasuk Indonesia, adalah konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar.

Dengan konsep ini, definisi kemiskinan yang sangat luas mengalami penyempitan makna karena kemiskinan hanya dipandang sebagai ketakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan.

Dalam terapannya, dihitunglah garis kemiskinan absolut. Penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran/pendapatan per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan disebut penduduk miskin.

Penghitungan penduduk miskin ini didasarkan pada data sampel, bukan data sensus, sehingga hasilnya sebetulnya hanyalah estimasi.

Data yang dihasilkan biasa disebut data kemiskinan makro. Di Indonesia, sumber data yang digunakan adalah Survei Sosial Ekonomi Nasional. Pencacahannya dilakukan setiap Maret dengan jumlah sampel 68.000 rumah tangga.

BPS menyajikan data kemiskinan makro ini sejak tahun 1984 sehingga perkembangan jumlah dan persentase penduduk miskin bisa diikuti dari waktu ke waktu.

Data kemiskinan makro yang terakhir dikeluarkan BPS adalah posisi Maret 2020 ketika jumlah penduduk miskin tercatat sebesar 26,42 juta jiwa atau 9,78 persen total penduduk Indonesia.

Data ini hanya menunjukkan estimasi jumlah dan persentase penduduk miskin yang berguna untuk perencanaan serta evaluasi program kemiskinan dengan target geografis.

Akan tetapi, data itu tidak dapat menunjukkan siapa dan di mana alamat penduduk miskin sehingga tidak operasional untuk program penyaluran bantuan langsung, seperti bantuan langsung tunai, beras untuk rakyat miskin, dan Jaminan Kesehatan Masyarakat.

Baca Juga: 5 Pantai di Gunungkidul yang Wajib Dikunjungi saat Akhir Pekan

Kemiskinan mikro

Masalah muncul saat pemerintah menaikkan harga BBM pada tahun 2005 dan ingin memberi kompensasi kepada penduduk lapisan bawah berupa penyaluran bantuan langsung tunai, beras untuk rakyat miskin, dan Jaminan Kesehatan Masyarakat.

Orientasi program penanggulangan kemiskinan di Indonesia mendadak berubah total. Kondisi sekarang dalam masa pandemi Covid-19, menjadi sorotan masyarakat luas tatkala pemerintah menerapkan kebijakan pembatasan sosial bersekala besar (PSBB) sebagian masyarakat yang kurang beruntung berharap adanya bantuan pemerintah untuk menopang kehidupan sosial ekonominya yang semakin susah saja.

Di zaman Orde Baru, program penanggulangan kemiskinan memakai pendekatan geografis (desa), seperti Inpres Desa Tertinggal.

Sejak tahun 2005, yang digunakan pendekatan individu atau rumah tangga, seperti bantuan langsung tunai, beras untuk rakyat miskin, dan Jaminan Kesehatan Masyarakat.

Penyaluran bantuan langsung tak bisa memakai data kemiskinan makro sebab memerlukan nama dan alamat si miskin. Pengumpulan data harus dengan sensus, bukan sampel, sehingga data yang dihasilkan disebut sebagai data kemiskinan mikro.

Ini berbeda dengan metode penghitungan kemiskinan makro dengan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar. Pengumpulan data kemiskinan mikro didasarkan pada ciri-ciri rumah tangga miskin supaya pendataan bisa cepat dan hemat biaya.

Baca Juga: Sinopsis Samudera Cinta di SCTV Jumat, 4 September 2020, Samudera Merasa Bersalah Pada Cinta

Sampai saat ini sudah empat kali BPS mengumpulkan data kemiskinan mikro, yaitu: tahun 2005, tahun 2008, tahun 2011, dan terakhir tahun 2015.

Data yang diperoleh disebut data rumah tangga sasaran (RTS) dan mencakup bukan hanya rumah tangga miskin, tetapi juga rumah tangga hampir miskin yang hidup sedikit di atas garis kemiskinan.

Jumlah RTS pada BDT 2015 yang digunakan berbagai program perlindungan sosial oleh pemerintah sampai saat ini mencakup data 28 juta rumah tangga ekonomi terbawah atau menurut proyeksi BPS sekitar 40% dari total rumah tangga Indonesia.

Bandingkan dengan data kemiskinan makro pada tahun 2015 yang tercatat 28,59 juta orang atau sekitar 11,22 persen dari total penduduk Indonesia. Jika setiap rumahtangga miskin mempunyai 4-5 anggota rumah tangga maka Pendataan Basis Data Terpadu (PBDT) tahun 2015 mencatat sekitar 126 juta orang.

Sebaliknya rumah tangga miskin dari data makro pada tahun yang sama diperkirakan hanya sekitar 6,35 juta rumah tangga.

Selisih rumah tangga miskin data mikro terhadap data makro, sekitar 22,65 juta rumahtangga, mereka adalah kelompok rumah tangga yang tergolong hampir miskin (near poor), yaitu kelompok orang dengan pengeluaran per kapita sebulan sedikit diatas garis kemiskinan.

Kalaupun sampai saat ini berbagai pihak masih meragukan validitas RTS program bantuan langsung tunai, beras untuk rakyat miskin, dan Jaminan Kesehatan Masyarakat, penulis kira masih sangat wajar, karena dinamika perubahan rumah tangga miskin sangat memungkinkan akibat perbedaan waktu dan kondisi kekinian dari program program tersebut dengan basis data yang digunakan tahun 2015.

Baca Juga: Termasuk Dalam Tren Tanaman Hias 2020, Inilah 6 Tips Merawat Bonsai Agar Tetap Indah

Oleh karena itu pemerintah melalui TNP2K kini tidak membebankan tanggungjawab updating data PBDT 2015 ke Badan Pusat Statistik melainkan dialihkan ke Kementrian Sosial di tingkat pusat dan Dinas Sosial provinsi, kabupaten/kota di seluruh Indonesia.

Persoalan muncul kekinian data PBDT 2015 diakui masih tidak semua Dinas Sosial provinsi, kabupaten/kota telah melakukan updating, sehingga sedikit banyak masih ditemukan RTS yang salah sasaran karena yang seharusnya menerima bantuan tetapi tidak diberikan bantuan, tetapi sebaliknya mereka yang menerima bantua ada sebagian yang ternyata mereka seharusnya tidak layak karena kondisi sosial ekonominya sudah berubah tergolong rumah tangga mampu.

Seyogyanya dan menjadi keharusan disiplin memperbaiki data RTS miskin paling tidak setiap 2 atau 3 tahun dan utamanya setiap tahun menjadi amanat yang harus ditegakkan dengan sebaik mungkin oleh pemangku kepentingan untuk mencapai ketepatan sasaran program. Wallahu alam bisawab.*** (Laeli Sugiyono - Statistisi Ahli Madya pada BPS Provinsi Jawa Tengah)

Editor: Ayusandra Adhitya Septi Andani


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x