Menurut Prastowo, di antara negara-negara tersebutb, ternyata banyak juga negara yang menerapkan kebijakan multitarif PPN, tidak tunggal. Rentang tarifnya beragam.
Ini selaras dengan adagium lama “semakin kompleks sistem pajak, maka semakin adil”, dan sebaliknya. Kalau mau simpel ya bisa, tapi nggak adil.
Dibanding negara-negara ASEAN, menurut Prastowo, kinerja perpajakan kita masih di bawah Thailand dan Singapura. Juga di bawah Afsel dan Argentina.
Tentu saja ini tantangan: peluang dan ruang masih besar, maka perlu dipikirkan ulang mulai sekarang. Ini pertimbangan pentingnya.
Kenapa senerimaan PPN kita belum optimal? Salah satu jawabannya,menurut Prastowo, karena terlalu banyak pengecualian dan fasilitas.
Indonesia negara dengan pengecualian terbanyak. "Ya memang dermawan dan baik hati sih. Cuma kadang distortif dan tidak tepat. Bahkan jadi ruang penghindaran pajak," katanya.
Sekadar intermezzo, kata Prastowo, saking baiknya, bahkan banyak barang dan jasa dikecualikan atau mendapat fasilitas tanpa dipertimbangkan jenis, harga dan kelompok yang mengonsumsi.
Baik beras, minyak goreng atau jasa kesehatan dan pendidikan, misalnya. Apapun jenis dan harganya, semua bebas!
Pengaturan yang demikian justru menjadikan tujuan pemajakan tidak tercapai: yang mampu bayar, tak membayar karena mengonsumsi barang/jasa yang tidak dikenai PPN. Ini fakta. Maka kita perlu memikirkan upaya menata ulang agar sistem PPN kita lebih adil dan fair. Caranya?