Selama Tahun 2005-2020 Sebanyak 426 Kepala Daerah Tersandung Praktik Korupsi

- 28 Februari 2021, 09:27 WIB
Ilustrasi Korupsi
Ilustrasi Korupsi /Pixabay.com
 
 
KABAR JOGLOSEMAR - Sejak tahun 2005 sampai dengan 2020 atau selama 15 tahun, sebanyak 426 kepala daerah di 542 daerah otonom di Indonesia tersandung kasus korupsi.
 
Ke-426 kepala daerah yang tersandung korupsi tersebut terdiri dari 234 bupati dan 62 wakil bupati, 68 walikota dan 20 wakil walikota serta 35 gubernur.
 
Dan sejak tahun 2004 sampai dengan Februari 2021, sebanyak 126 kepala daerah yang jadi tersangka kasus korupsi, terdiri dari 110 bupati/walikota, wakil bupati/wakil walikota dan 16 gubernur.
 
 
"Jumlah ini akan terus bertambah selama sistem Pilkada langsung seperti sekarang tetap dilakukan. Karena penyebab utama korupsi yang dilakukan oleh kepala daerah adalah karena biaya politik yang sangat tinggi atau mahal untuk membiayai kampanye seperti membayar tim sukses dan saksi-saksi di TPS," kata mantan Dirjen Otonomi Derah Djohermansyah Djohan dalam acara talkshow di stasiun televisi swasta pada hari Sabtu petang 27 Februari 202.
 
Menurut Djohermansyah Djohan yang saat ini menjadi Dosen IPDN Bandung, apa pun upaya pencegahan praktik korupsi yang dilakukan kepala daerah tidak akan berhasil selama sistem politik berbiaya tinggi seperti Pilkada langsung tetap berlaku.
 
Hal tersebut karena penyebab utam korupsi adalah pilkada langsung yang berbiaya mahal.
 
 
Karena itu, menurut Djohan, UU Nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada yang sekarang berlangsung harus direvisi atau diperbaiki untuk menghadapi pilkada ke depan. Kalau tidak direvisi, lalu bagaimana menurunkan biaya politik tinggi pilkada langsung.
 
Menurut Djohan, dalam revisi UU Pilkada 2016, perlu diatur harus ada dana dari negara untuk biaya kampanye dan bayar saksi-saksi, supaya calon kepala daerah tidak minta atau menerima dana dari cukong.
 
Selain itu, tidak ada mahar politik dari calon kepala daerah untuk partai politik pengusung.
 
 
Djohan mengatakan, ada 3 model asimetris pilkada yang bisa jadi alternatif untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan biaya pilkada mahal.
 
Pertama, bisa dicampur antara pilkada langsung bagi daerah atau calon kepala daerah yang mampu dengan pemilihan kepala daerah lewat parlemen atau DPRD bagi kepala daerah yang tidak mampu.
 
Kedua, pemilihan kepala daerah dilakukan DPRD.Dan ketiga, kepala daerah diangkat/ditetapkan langsung tanpa melalui pemilihan.
 
 
"Ketiga model ini ada di seluruh dunia.Tinggal kita pilih mana yang paling pas atau cocok untuk diterapkan," kata mantan Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri ini.
 
Hal yang sama disampaikan M Yasin, mantan Wakil Ketua KPK. Dikatakan, selama sistem pilkada berbiaya tinggi seperti sekarang tetap berjalan maka jangan berharap praktik korupsi akan berhenti.
 
Sebab praktik korupsi dilakukan oleh kepala daerah untuk mengembalikan biaya pilkada yang sangat mahal mencapai puluhan miliar rupiah.***
 
 
 

Editor: Sunti Melati


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x