Menurut Ade Wahyudin, dalam Pasal 4 ayat (3) UU Pers telah memberi jaminan terhadap kemerdekaan pers, dengan memberi hak kepada pers nasional dalam hal mencari, memperoleh dan menyebarluaskan gagasan dan informasi. Sehingga semestinya MA tidak menghalangi kerja jurnalistik melalui Perma tersebut.
"MA tidak semestinya menganggap kehadiran jurnalis yang mengambil foto, rekaman audio dan atau rekaman audio visual sebagai gangguan terhadap peradilan. Peran dan fungsi jurnalis kami nilai dapat meminimalisir praktik mafia peradilan yang dapat mengganggu independensi hakim dalam memutus," kata Ade Wahyudin.
Baca Juga: Suga BTS Dikabarkan Ikut Syuting Iklan Meski Masih Hiatus
Baca Juga: Dicopot, Wishnutama Beri Selamat pada Sandiaga Uno yang Jadi Menparekraf Baru
Dikatakan, keberadaan jurnalis di ruang persidangan penting untuk menjamin proses peradilan berjalan sesuai peraturan yang berlaku dan terpenuhinya akses untuk keadilan.
Sebab, dengan terbatasnya akses di ruang persidangan, diyakini akan membuat mafia peradilan makin bebas bergerak tanpa pengawasan jurnalis.
Menurut Ade Wahyudin, larangan mengambil foto, rekaman audio dan atau rekaman audio visual hanya boleh pada kasus kesusilaan atau anak. Sementara pada prinsipnya persidangan terbuka untuk umum sebagaimana diatur Pasal 153 ayat (3) KUHAP dan Pasal 13 UU Kekuasaan Kehakiman, sehingga pengambilan foto, rekaman audio dan/atau rekaman audio visual merupakan bagian dari prinsip keterbukaan informasi publik tidak relevan harus didahului izin hakim atau ketua majelis hakim.
Baca Juga: Dicopot, Wishnutama Beri Selamat pada Sandiaga Uno yang Jadi Menparekraf Baru
"Sebagai konsekuensi jika proses persidangan tidak dibuka untuk umum maka putusan pengadilan bisa batal demi hukum," kata Ade.
Keinginan MA untuk mengatur tata tertib dalam persidangan, khususnya terkait pendokumendasian, menurut Ade Wahyudin, bukan yang pertama.