Sembako Kena Pajak? Simak Penjelasan Lengkap Staf Menkeu RI

10 Juni 2021, 12:11 WIB
Ilustrasi beras, salah satu sembako yang dikabarkan kena pajak /Pixabay/ImageParty

KABAR JOGLOSEMAR - Wacana kenaikan tarif PPN mendapat respon cukup hangat di masyarakat. Hal ini menyusul munculnya draf Revisi Kelima UU Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP). Menurut Staf Menkeu (Menteri Keuangan) Yustinus Prastowo, respon ini merupakan hal positif.

Sebab hal itu menunjukkan kesadaran akan pentingnya pajak semakin tinggi. Apalagi pajak merupakan pilar penyangga eksistensi negara. Karena itu, Yustinus Prasowo perlu berbagi konteks yag lebih luas agar masyaraat dapat mendudukkan semua wacana secara jernih.

Baca Juga: Sembako Dipajaki? Staf Ahli Menkeu: Pemerintah Tak akan Membabi Buta

Yustinus Prastowo mengaku memaklumi reaksi spontan publik yang marah, kaget, kecewa atau bingung. Mereka menilai kenaikan tarif PPN berarti naiknya harga-harag barang dan jasa, termasuk sembako.

"Apalagi ini pemulihan ekonomi, pemerintah sendiri struggle dengan APBN yang bekerja keras, mosok mau bunuh diri? Begitu kira-kira yang saya tangkap," kata Yustinus Prastowo.

Dikutip Kabar Joglosemar dari akun Twitter @prastow yang diunggah pada Rabu, 9 Juni 2021, Yustinus Prastowo secara detail menjelaskan bahwa pemerintah yang diwakili Menko Perekonomian dan Menteri Keuangan, di berbagai kesempatan menegaskan bahwa rancangan ini perlu disiapkan dan didiskusikan pada saat pandemi, justru karena kita bersiap.

Baca Juga: Bocoran Ikatan Cinta 10 Juni 2021: Papa Surya Akhirnya Tahu Elsa Fitnah Andin, Rencana Ricky Berhasil

"Bukan berarti akan serta merta diterapkan di saat pandemi. Ini poin penting: timing," tegas Yustinus Prastowo.

Karena itu, pemerintah mengajak para pemangku kepentingan, termasuk pelaku usaha dan DPR, untuk bersama-sama memikirkan bahwa jika saat pandemi kita bertumpu pada pembiayaan utang karena penerimaan pajak turun, bagaimana dengan pasca-pandemi? Tentu saja kembali ke optimalisasi penerimaan pajak.

"Nggak usah jauh2. Joe Biden sesaat setelah dilantik berencana menaikkan tarif PPh Badan dari 21% ke 28%. Inggris juga berencana menaikkan tarif PPh Badan dari 19% menjadi 23%. Banyak negara berpikir ini saat yg tepat utk memikirkan optimalisasi pajak utk sustainabilitas," kata Yustunus Prastowo.

Di sisi PPN, menurut Yustinus Prastowo, negara-negarajuga memikirkan penataan ulang sistem PPN, antara lain melalui perluasan basis pajak dan penyesuaian tarif.

Baca Juga: Begini Cara Mendaftar BLT UMKM PNM Mekaar Rp1,2 Juta, Jangan Lupa Cek banpresbpum.id

Ada 15 negara yang menyesuaikan tarif PPN untuk membiayai penanganan pandemi. Rerata tarif PPN 127 negara adalah 15,4 persen. Kita sendiri masih 10 persen.

"Sekilas info. Ini kinerja perpajakan kita. Meski 5 tahun terakhir secara nominal naik, tapi blm optimal utk membiayai banyak target belanja publik agar kita transform lbh cepat. Terlebih 2020, karena pandemi penerimaan pajak tergerus cukup dalam. Kita justru kasih insentif," kata Prastowo.

Lugasnya, menurut Prastowo, karena pandemi ini pengeluaran meningkat cukup tajam, sementara di sisi lain penerimaan tersendat.

Karena itu, mumpung pandemi dan pajak diarahkan sebagai stimulus, kita paralel pikirkan desain dan konsolidasi kebijakan yang menjamin sustainabilitas di masa mendatang. Pasca pandemi tentu saja.

Baca Juga: Packaging BTS Meal Dijual di E-commerce, Ada yang Harganya Fantastis Mencapai Rp 100 Juta

Dikatakan, kita lakukan kajian dan benchmarking. Belajar dari pengalaman dan tren negara lain. Yang gagal ditinggal, yang baik dipetik.

Ini ringkasan datanya: 24 negara tarif PPN-nya di atas 20 persen, 104 negara 11-20 persen, selebihnya beragam 10 persen ke bawah. Lalu Indonesia bagaimana melihat ini?

Menurut Prastowo, di antara negara-negara tersebutb, ternyata banyak juga negara yang menerapkan kebijakan multitarif PPN, tidak tunggal. Rentang tarifnya beragam.

Ini selaras dengan adagium lama “semakin kompleks sistem pajak, maka semakin adil”, dan sebaliknya. Kalau mau simpel ya bisa, tapi nggak adil.

Dibanding negara-negara ASEAN, menurut Prastowo, kinerja perpajakan kita masih di bawah Thailand dan Singapura. Juga di bawah Afsel dan Argentina.

Tentu saja ini tantangan: peluang dan ruang masih besar, maka perlu dipikirkan ulang mulai sekarang. Ini pertimbangan pentingnya.

Baca Juga: Ini Cara Daftar dan Ketentuan Dapatkan BLT UMKM Rp1,2 Juta PNM Mekaar, Cek Hanya Lewat banpresbpum.id

Kenapa senerimaan PPN kita belum optimal? Salah satu jawabannya,menurut Prastowo, karena terlalu banyak pengecualian dan fasilitas.

Indonesia negara dengan pengecualian terbanyak. "Ya memang dermawan dan baik hati sih. Cuma kadang distortif dan tidak tepat. Bahkan jadi ruang penghindaran pajak," katanya.

Sekadar intermezzo, kata Prastowo, saking baiknya, bahkan banyak barang dan jasa dikecualikan atau mendapat fasilitas tanpa dipertimbangkan jenis, harga dan kelompok yang mengonsumsi.

Baik beras, minyak goreng atau jasa kesehatan dan pendidikan, misalnya. Apapun jenis dan harganya, semua bebas!

Pengaturan yang demikian justru menjadikan tujuan pemajakan tidak tercapai: yang mampu bayar, tak membayar karena mengonsumsi barang/jasa yang tidak dikenai PPN. Ini fakta. Maka kita perlu memikirkan upaya menata ulang agar sistem PPN kita lebih adil dan fair. Caranya?

Baca Juga: Ini Daftar Wilayah yang Bisa Menyaksikan Gerhana Matahari Cincin 10 Juni 2021

Menurut Prastowo, yang dikonsumsi masyarakat banyak (menengah bawah) mustinya dikenai tarif lebih rendah, bukan 10 persen.

Sebaliknya, yang hanya dikonsumsi kelompok atas bisa dikenai PPN lebih tinggi. "Ini adil bukan? Yang mampu menyubsidi yang kurang mampu. Filosofis pajak kena: gotong royong," demikian Prastowo.

Tapi kok sembako dipajaki? Pemerintah kalap butuh duit ya? Kata Prastowo, kembali ke awal, bahwa tidak ada yang tak butuh uang, apalagi akibat hantaman pandemi.

"Tapi dipastikan pemerintah tak akan membabi buta. Konyol kalau pemulihan ekonomi yang diperjuangkan mati2an justru dibunuh sendiri. Mustahil!," tegas Prastowo.

Karena itu, sekali lagi, ini saat yang tepat merancang dan memikirkan. Bahwa penerapannya menunggu ekonomi pulih dan bertahap, itu cukup pasti.

Baca Juga: BLT UMKM PNM Mekaar Tahap 3 Kapan Cair? Simak Ketentuan dan Cara Mendapatkan Bantuan Rp1,2 Juta

Pemerintah dan DPR memegang ini. Saat ini pun barang hasil pertanian dikenai PPN 1 persen. Beberapa barang/jasa juga demikian skemanya agar ringan

Di sisi lain pemerintah memperkuat perlindungan sosial. Semakin banyak keluarga mendapatkan bansos dan subsidi diarahkan ke orang.

Maka jadi relevan: bandingkan potensi bertambahnya pengeluaran dg PPN (misal 1 persen atau 5 persen), dengan bansos/subsidi yang diterima rumah tangga.

"Mohon terus dikritik, diberi masukan dan dikawal. Ini masih terus dikaji, dipertajam dan disempurnakan. Pada waktunya akan dibahas dengan DPR.

Jika disetujui, pelaksanaannya memperhatikan momen pemulihan ekonomi. Kita bersiap untuk masa depan yang lebih baik. Terima kasih, salam," kata Prastowo.

Baca Juga: Viral di TikTok Sisca Kohl Bikin Esk Krim BTS Meal, Kentang dan Nugget Dibender Jadi Satu, Begini Rasanya

Ia menambahkan, "Ini saatnya kita duduk bareng, bicara terbuka, jernih dan jujur: apa yang harus kita lakukan buat bangsa dan negara tercinta? Jika soal utang dicabik-cabik tiap hari, bukankah pajak harapan kita? Jika inipun tak mau, lantas dg apa Republik ini kita ongkosi?"

Lantas, dipakai buat apa saja sih uang pajak dan utang selama ini. "Banyak banget, sampai saya nggak bisa ngitung dan nyebutin. Pajak adalah ongkos peradaban-Oliver Wendell Holmes Jr," kata Yustinus Prastowo. ***

Editor: Ayusandra Adhitya Septi Andani

Tags

Terkini

Terpopuler