4 Kontroversi Vaksin Nusantara, dari Tak Lalui Tahap Praklinis hingga Dibuat Dalam Kondisi Tak Steril

17 April 2021, 12:18 WIB
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makan (BPOM) Penny K. Lukito. /instagram.com/@pennyklukito

 

KABAR JOGLOSEMAR- Kehadiran Vaksin Nusantara yang digagas mantan Menteri Kesehatan, Terawan Agus Putranto masih menuai kontroversi sampai saat ini.

Vaksin Nusantara dinilai tidak mengikuti aturan pengujian pembuatan vaksin. Tak hanya itu, penelitian Vaksin Nusantara yang banyak dilakukan di Amerika Serikat menjadi tanda tanya tersendiri bagi BPOM.

Sejumlah tahapan seperti uji praklinis vaksin yang harusnya diujicobakan pada hewan tidak dilakukan oleh tim peneliti vaksin Nusantara.

Baca Juga: Pernah Ditinggal Putri Anne, Begini Perasaan Arya Saloka

Baca Juga: Pengobatan Covid-19 Berbahan dari Tali Pusat Bayi, Ini Faktanya

Berikut 4 kontroversi vaksin nusantara yang masih menjadi polemik:

1.Tidak Melalui Tahap Praklinis

Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Penny K Lukito mengatakan proses pembuatan Vaksin Nusantara melompati proses yang telah disepakati.

Menurut Penny, seharusnya Vaksin Nusantara harus melalui tahapan preclinic terlebih dahulu sebelum masuk tahap uji klinik tahap I. Namun, tim yang memproses vaksin tersebut menolak.

Penny kemudian memberikan izin dengan syarat memberikan laporan terhadap 3 subjek dalam proses pengembangan vaksin tersebut.

Baca Juga: Abu Rizal Bakrie Ungkap Pengalamannya Ketika Disuntik Vaksin Nusantara

Baca Juga: Industri Ritel Makin Terpuruk, Citibank Tutup Bisnis Ritel di Indonesia

Namun, menurut Penny, tim peneliti vaksin Nusantara melakukan penelitian terhadap 28 subjek atau melebihi dari subjek yang telah disepakati.

Bahkan data yang diperoleh juga tidak memberikan hasil uji klinik tahap I yang bagus.

2.Belum Diuji Coba ke Hewan

Penny mengatakan tahapan praklinis dengan mengujicobakan vaksin Nusantara ke hewan tidak dilakukan oleh tim peneliti.

"Itu etikanya harus seperti itu, karena ini kan menyangkut nyawa manusia. Sebelum masuk ke manusia harus ke hewan dulu. Nah pada saat itu mereka (peneliti vaksin Nusantara) enggak melakukan itu di hewan," jelas Penny.

Baca Juga: Pemeran Narcissa Malfoy, Helen McCrory Meninggal Dunia, JK Rowling Kirim Pesan Menyentuh

Baca Juga: Jadwal MotoGP Portugal Hari Ini Sabtu, 17 April

Penny mengatakan, tim peneliti akhirnya tetap memberikan data praklinik ke BPOM yang dilakukan di Amerika Serikat.

Namun, setelah dilakukan pemeriksaan, data tersebut tidak baik jika dikaitkan dengan praklinik.

Ia menjelaskan, dalam praklinik, vaksin bisa dilakukan ke hewan seperti mencit atau tikus putih dan hewan mamalia sebelum akhirnya disuntikan ke manusia.

Uji  klinis vaksin Nusantara ini belum bisa dilanjutkan karena banyak temuan dan konsep dari vaksin tersebut masih diperdebatkan. Sebab, cara pelaksanaan vaksinasi berbeda dengan vaksin yang biasa digunakan.

Baca Juga: Berikut Jadwal Misa Live Streaming Tanggal 17-18 April 2021, Misa Paskah III

3.Tidak Dibuat Dalam Kondisi Steril

Produk vaksin dendritik tidak dibuat dalam kondisi yang steril. Laporan yang diterima BPOM bahwa pembuatan vaksin dilakukan secara close system, tetapi pada kenyataannya proses pembuatan vaksin dilakukan secara manual dan open system.

Selain itu, produk antigen SARS CoV-2 yang digunakan sebagai bahan utama pembuatan vaksin tidak pharmaceutical grade dan dinyatakan oleh produsennya Lake Pharma-USA bahwa tidak dijamin sterilitasnya.

Bahkan, penggunaan antigen tersebut hanya untuk riset di laboratorium bukan untuk diberikan kepada manusia.

Hasil produk pengolahan sel dendritik yang menjadi vaksin tidak dilakukan pengujian sterilitas dengan benar sebelum diberikan kepada manusia. Hal tersebut berpotensi memasukkan produk yang tidak steril dan menyebabkan risiko infeksi bakteri pada penerima vaksin.

Baca Juga: Penggemar Rayakan Anniversary Pertama Drama The King: Eternal Monarch

4.Relawan Uji Klinis Alami Kejadian Tak Diinginkan

Tercatat 20 dari 28 subjek atau 71,4 persen relawan uji klinik fase I mengalami Kejadian Tidak Diinginkan (KTD) dalam grade 1 dan 2.

Relawan mengalami kejadian yang tidak diinginkan pada kelompok vaksin dengan kadar adjuvant 500 mcg. Dan lebih banyak dibandingkan pada kelompok vaksin dengan kadar adjuvant 250 mcg dan tanpa adjuvant.

KTD pada relawan antara lain nyeri lokal, nyeri otot, nyeri sendi, nyeri kepala, penebalan, kemerahan, gatal, petechiae, lemas, mual, demam, batuk, pilek dan gatal. KTD juga terjadi pada relawan grade 3 pada 6 subjek.

Rinciannya, 1 subjek mengalami hipernatremia, 2 subjek mengalami peningkatan Blood Urea Nitrogen (BUN) dan 3 subjek mengalami peningkatan kolesterol.

Kejadian yang tidak diinginkan pada grade 3 merupakan salah satu kriteria untuk menghentikan pelaksanaan uji klinis sebagaimana tercantum pada protokol uji klinik. Namun, tim peneliti tidak melakukan penghentian uji klinik.***

Editor: Sunti Melati

Tags

Terkini

Terpopuler