Memotret dan Merekam Sidang di Pengadilan Harus Seizin Hakim, Ini Kata LBH Pers

23 Desember 2020, 09:51 WIB
Ilustrasi palu pengadilan. /pexels/Sorashimazaki

KABAR JOGLOEMAR - Wartawan tidak akan bebas lagi memotret atau merekam jalannya persidangan di pengadilan.

Bila hendak memotret atau merekam terlebih dahulu harus minta izin kepada hakim atau ketua majelis hakim yang memimpin sidang. Ketentuan ini pun mendapat reaksi dari LBH Pers.

Ketentuan ini diatur dalam Peraturan MA No 5 tahun 2020 tentang Protokol Persidangan dan Keamanan dalam Lingkungan Pengadilan, tertanggal 4 Desember 2020.

Baca Juga: Jadwal Ibadah Online Misa Natal 2020 di GKI Gejayan Yogyakarta, Cek Link nya di Sini

Dalam Pasal 4 ayat (6) Perma tersebut mengatur terkait kewajiban adanya izin hakim/ketua majelis hakim untuk dapat 'Pengambilan foto, rekaman audio dan/atau rekaman audio visual' dalam proses persidangan, dan harus dilakukan sebelum dimulainya persidangan.

Selain itu pada Pasal 7 Perma No 5 tahun 2020 ini juga mengkualasifikasikan pelanggaran pada Pasal 4 ayat (6) itu sebagai contempt of court atau penghinaan terhadap pengadilan.

"Kebijakan yang ditetapkan MA tersebut akan menghambat fungsi dan peran pers dalam mencari dan menyiarkan informasi kepada publik. Kehadiran jurnalis dalam proses persidangan merupakan bagian dari keterbukaan informasi publik dan jaminan atas akses terhadap keadilan," kata Ade Wahyudin, Direktur LBH Pers, dalam siaran pers yang diterima Kabar Joglosemar, Selasa (22/12/2020).

Baca Juga: Sinopsis Ikatan Cinta 23 Desember: Andin Luluhkan Hati Aldebaran, Elsa Inginkan Ini

Baca Juga: Menag Gus Yaqut : Agama Bukan Alat Politik untuk Meraih Kekuasaan

Menurut Ade Wahyudin, dalam Pasal 4 ayat (3) UU Pers telah memberi jaminan terhadap kemerdekaan pers, dengan memberi hak kepada pers nasional dalam hal mencari, memperoleh dan menyebarluaskan gagasan dan informasi. Sehingga semestinya MA tidak menghalangi kerja jurnalistik melalui Perma tersebut.

"MA tidak semestinya menganggap kehadiran jurnalis yang mengambil foto, rekaman audio dan atau rekaman audio visual sebagai gangguan terhadap peradilan. Peran dan fungsi jurnalis kami nilai dapat meminimalisir praktik mafia peradilan yang dapat mengganggu independensi hakim dalam memutus," kata Ade Wahyudin.

Baca Juga: Suga BTS Dikabarkan Ikut Syuting Iklan Meski Masih Hiatus

Baca Juga: Dicopot, Wishnutama Beri Selamat pada Sandiaga Uno yang Jadi Menparekraf Baru

Dikatakan, keberadaan jurnalis di ruang persidangan penting untuk menjamin proses peradilan berjalan sesuai peraturan yang berlaku dan terpenuhinya akses untuk keadilan.

Sebab, dengan terbatasnya akses di ruang persidangan, diyakini akan membuat mafia peradilan makin bebas bergerak tanpa pengawasan jurnalis.

Menurut Ade Wahyudin, larangan mengambil foto, rekaman audio dan atau rekaman audio visual hanya boleh pada kasus kesusilaan atau anak. Sementara pada prinsipnya persidangan terbuka untuk umum sebagaimana diatur Pasal 153 ayat (3) KUHAP dan Pasal 13 UU Kekuasaan Kehakiman, sehingga pengambilan foto, rekaman audio dan/atau rekaman audio visual merupakan bagian dari prinsip keterbukaan informasi publik tidak relevan harus didahului izin hakim atau ketua majelis hakim.

Baca Juga: Dicopot, Wishnutama Beri Selamat pada Sandiaga Uno yang Jadi Menparekraf Baru

"Sebagai konsekuensi jika proses persidangan tidak dibuka untuk umum maka putusan pengadilan bisa batal demi hukum," kata Ade.

Keinginan MA untuk mengatur tata tertib dalam persidangan, khususnya terkait pendokumendasian, menurut Ade Wahyudin, bukan yang pertama.

Sebab, pada 7 Februari 2020, MA melalui Surat Edaran Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum MA Nomor 2 tahun 2020 tentang Tata Tertib Menghadiri Persidangan.

Baca Juga: Ada yang Capai Triliunan, Ini Jumlah Kekayaan 6 Menteri Baru Jokowi

SE tersebut isinya tak jauh berbeda, salah satunya mengatur ketentuan 'pengambilan Foto, rekaman suara, rekaman TV harus seizin Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan'. Meski pada akhirnya surat edaran ini dicabut dengan banyaknya penolakan dari berbagai kalangan.

Karena itu, menurut Ade Wahyudin, LBH Pers mendesak Mahkamah Agung untuk mencambut Perma No 5 tahun 2020 tentang Protokol Persidangan dan Keamanan dalam Lingkup Pengadilan karena dapat menghambat hak pers dalam mencari, mengelola dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.***

Editor: Sunti Melati

Tags

Terkini

Terpopuler