Melirik Sosok Calon Pemimpin Indonesia 2024-2029 Menurut 'Asthabrata' di Masa Kini

1 Agustus 2023, 09:48 WIB
Gambar ilustrasi penguasaan “asthabrata” bagi calon pemimpin /Foto: I Made Laut Mertha Jaya/

 

 

 

KABAR JOGLOSEMAR - Ilmu “Asthabrata” tergolong ajaran yang sangat tua, dan mulai diperkenalkan melalui lakon pewayangan Wahyu Makutha Rama.

“Hasta” artinya delapan dan “Brata” yaitu perilaku atau tindakan pengendalian diri. “Asthabrata” melambangkan kepemimpinan dalam delapan unsur alam, yakni bumi, air, angin, api, samudra, gunung, rembulan dan matahari.

Tiap unsur “Asthabrata” mengartikan tiap karakteristik ideal dari seorang pemimpin. Menurut ajaran “Asthabrata”, pemimpin harus memiliki delapan sifat keteladanan (para Bathara) yang tidak boleh kurang dan harus saling melengkapi (Wewolu sariranira, yekti nora kena sira ngoncati, salah siji saking wolu, cacat karatonira), agar memperkokoh kepemimpinan dalam melaksanakan pemerintahan negara. Delapan sifat keteladanan tersebut, yakni:

  1. Sifat Bathara Indra yang dalam kehidupan alam bagaikan bumi, sedang dalam kehidupan manusia sebagai simbol tubuh, yakni dana sumebar sumawur maratani jagad (sifat memberikan darma kepada siapapun).
  2. Sifat Bathara Yama yang dalam kehidupan alam bagaikan bintang, sedang dalam kehidupan manusia sebagai simbol kehendak, yakni milara krama ala (mampu bersikap tegas dan keras terhadap semua kejahatan).
  3. Sifat Bathara Surya yang dalam kehidupan alam bagaikan matahari, sedang dalam kehidupan manusia sebagai simbol angan-angan, yakni ngudanaken sabarang reh arum-arum, dinan jingaken rerasa (membujuk ramah dan tindak yang bijaksana).
  4. Sifat Bathara Candra yang dalam kehidupan alam bagaikan bulan, sedang dalam kehidupan manusia sebagai kesucian hati, yakni apura sarananira, ing pangrehe wewangi lan manis (sifat pemaaf dan kasih saying).
  5. Sifat Bathara Bayu yang dalam kehidupan alam bagaikan angin, sedang dalam kehidupan manusia sebagai simbol nafas, yakni angite pakaryaning rat, budining rat den kawruhi (pandangan yang teliti, dan pikiran yang dalam).
  6. Sifat Bathara Kuwera yang dalam kehidupan alam bagaikan awan, sedang dalam kehidupan manusia ibarat kesadaran rasa, yakni anggung mukti boga sarta ngenaki (dermawan dalam harta benda dan hiburan)
  7. Sifat Bathara Baruna yang dalam kehidupan alam bagaikan air, sedang dalam kehidupan manusia diibaratkan kemampuan bicara, yakni anggung ngagem sanjata lampah-neki, bisa basukining laku, amusthi ing wardaya (kecerdasan yang tajam untuk menghadapi berbagai macam kesulitan)
  8. Sifat Bathara Brahma yang dalam kehidupan alam bagaikan api, sedang dalam kehidupan manusia sebagai nafsu, yakni ngupa boya sawadyaning gung alit galak marang musuh, bisa basaning wadya sirna parangmuka kapurung kapakus (meningkatkan kesehjahteraan melalui kerjasama semua pihak, berani menghadapi musuh dan tantangan).

Konsep Asthabrata dalam kitab “Manawa Dharma Sastra” menyiratkan bahwa pemimpin harus bertindak sesuai dengan karakter para dewa.

“Asthabrata” pun menjadi tolak ukur sebuah kepemimpinan di masa itu. Konon, pemimpin yang menguasai ilmu “Asthabrata” ini akan mampu melakukan internalisasi diri (pengejawantahan) ke dalam delapan sifat agung tersebut.

Ajaran kepemimpinan tersebut mulanya bersumber dari peradaban di Kawasan Asia Selatan yang diambil oleh para raja Nusantara melalui jalur perdagangan.

Mereka mengambil alih konsep-konsep kemasyarakatan itu dengan cara mengundang para cendekiawan (Brahmana), untuk menjadi konsultan dalam mengembangkan struktur kerajaan, upacara keagamaan, organisasi dan sistem kenegaraan.

Hal yang penting dari itu adalah masuknya konsep susunan negara yang mengerucut (hirarkis), dengan raja sebagai pusatnya. Konsep tipe negara ini hanya diambil alih oleh negara-negara pedalaman yang besar di Pulau Jawa (abad-9 hingga abad-15), seperti Kerajaan Mataram Kuno, Kerajaan Kediri, Kerajaan Singasari, dan Kerajaan Majapahit (hingga dilanjutkan oleh kerajaan-kerajaan sesudahnya).

Sifat keutamaan dari nilai-nilai ajaran moral kepemimpinan dan bukti ketokohan sejarah, merupakan bagian dari wacana moral yang “ideal” dan “hidup”, yang perlu diwariskan kepada para pemimpin dari generasi-generasi yang lebih muda.

Oleh sebab itu, “Kepemimpinan itu ibarat tongkat estafet” yang siap diteruskan ke pemimpin baru. Hasilnya akan terpantau dari sikap “kawicaksanaannya”. Yakni, ketrampilan tertinggi yang tidak hanya dalam menimbang dengan seksama, tetapi juga kemampuan membuat penilaian yang tajam dalam menganggulangi keadaan untuk menjaga keseimbangan.

Hal itu untuk menghindarkan pertentangan-pertentangan terbuka yang akan mengganggu berlangsungnya proses harmonisasi dalam berbagai hubungan sosial dalam masyarakat. Termasuk dalam mengembangkan interaksi antara pemimpin dengan rakyatnya, yang kemudian secara kultural popular disebut sebagai “Manunggaling kawula-gusti”.

Dalam kepemimpinan Indonesia modern saat ini, tradisi ajaran moral kepemimpinan yang bersumber dari keetnikan Jawa memiliki pengaruh yang besar. Sehingga, menjadi dasar dan patokan dari gaya hidup dan sistem nilai yang dianut oleh sebagian besar elit nasional, dalam bentuknya yang lebih menggambarkan suatu gugusan nilai etika dan cara berkelakuan.  

Hasil Sensus Penduduk 2020 menunjukkan penduduk Indonesia masih terpusat di Pulau Jawa, meskipun luas geografisnya hanya sekitar 7% dari seluruh wilayah Indonesia. Pulau Jawa dihuni oleh 151,59 juta penduduk atau 56,1% dari total penduduk Indonesia.

Sementara wilayah Maluku dan Papua memiliki persentase terkecil, yaitu 3,17% penduduk dari total penduduk Indonesia. Sebagai informasi, dengan luas daratan Indonesia 1,92 juta kilometer persegi, maka kepadatan penduduk Indonesia sebanyak 141 jiwa per kilometer persegi. Angka ini meningkat dari hasil Sensus Penduduk 2010 yang mencatat kepadatan penduduk sebanyak 124 jiwa per kilometer persegi.

Ketika pada zaman pemerintahan Presiden Soekarno, berlangsung identifikasi nilai-nilai “Asthabrata” dengan Manifesto Politik. Hal itu dimaksudkan untuk membangun budi pekerti dari pribadi para pemimpin bangsa. Agar mereka bersih lahir dan batin dalam kehendak dan tindakannya, resik lahir batine, suci ing ciptane, suci ing tindake.

Pada intinya adalah kang luhur budi lan luhur-pekerti. Konsep-konsep kepemimpinan orang Jawa dari tradisi “negarigung” banyak mengandung nilai-nilai ajaran moral dan contoh perilaku dari para tokoh di masa lampau, sehingga merupakan bagian penting dari proses sejarah dan kepahlawanan.

Budaya Jawa yang bersifat domestic, juga memudahkan untuk menempatkannya menjadi semacam pakem, yang pengaruhnya menyebar ke seluruh daerah sub-kultur budaya Jawa. Penyebaran nilai-nilai ajaran kepemimpinan itu berlangsung melalui pengajaran karya sastra dari para pujangga keraton, yang diajarkan melalui kesenian etnik khususnya pertunjukkan wayang kulit, yang diakui sebagai pola rekreasi rakyat yang diyakini mengandung makna simbolik dan ritual.

Berdasar sifat utama tersebut, orang Jawa kemudian memandang sejarah sebagai sumber tradisi kepemimpinannya. Orang Jawa yang merupakan salah satu suku tertinggi peradabannya, mempunyai nilai-nilai budaya yang adi luhung dan agung.

Nilai-nilai Jawa sebagai basis perpolitikan di Indonesia. Ini didukung oleh kenyataan bahwa jumlah masyarakat Jawa yang cenderung mendominasi kehidupan politik dan roda pemerintahan baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah.

Bahkan tersebar mitos bahwa yang menjadi pemimpin di negeri ini adalah orang Jawa kecuali Presidan B.J. Habibie, tetapi isunya beliau juga keturunan orang Jawa. Mengutip Wikipedia, B.J. Habibie merupakan anak keempat dari delapan bersaudara, pasangan Alwi Abdul Jalil Habibie dan R.A. Tuti Marini Puspowardojo. Ayahnya yang berprofesi sebagai ahli pertanian yang berasal dari etnis Gorontalo, sedangkan ibunya dari etnis Jawa.

Demikianlah, menjadi seorang pemimpin Indonesia menurut konsep “Asthabrata” dalam khasanah budaya Jawa dituntut memiliki delapan watak kedewataan. Delapan watak kebijaksanaan yang bersifat keillahian ini merujuk kepada delapan Dewa, yakni: Dewa Indra, Dewa Yama, Dewa Surya, Dewa Candra, Dewa Bayu, Dewa Kuwera, Dewa Baruna, dan Dewa Brahma.*** (I Made Laut Mertha Jaya)

 

 

 

 

 

Editor: Sunti Melati

Tags

Terkini

Terpopuler